ANTARA DEKLARASI DJUANDA, DEKRIT PRESIDEN DAN POROS MARITIM DUNIA
Deklarasi Djuanda yang dicetuskan pada tanggal 13 Desember 1957 merupakan tonggak atau pijakan dalam membangun negara Indonesia sebagai negara maritim saat ini. Deklarasi Djuanda merupakan keputusan penting yang dibuat oleh bangsa Indonesia.
Dalam hal ini Perdana Menteri Ir. Djuanda Kertawidjaja memiliki andil yang besar. Setelah berbagai peristiwa bersejarah terjadi, yakni Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, Proklamasi 17 Agustus 1945, dan berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pada 18 Agustus 1945, itu pun kemudian terasa lengkap dengan hadirnya deklarasi ini sebagai pengukuh simpul-simpul sejarah tersebut.
Keputusan yang diambil sebagai pemutus pengaruh kolonialisme yang pada saat itu masih berusaha memecah belah Indonesia, menjadi fondasi awal yang baik dalam membangun Indonesia sebagai negara maritim yang besar serta digdaya. Pemerintah kala itu dengan berani mendeklarasikannya sebagai ketegasan bahwa laut adalah pemersatu bangsa ini, bukan pemisah.
"Pemerintah kala itu dengan berani mendeklarasikannya sebagai ketegasan bahwa laut adalah pemersatu bangsa ini, bukan pemisah"
Upaya pemerintah pada kala itu masih banyak menemui kendala terutama belum menemukan format yang tepat. Di antaranya, Indonesia pada saat itu masih menggunakan UUD Sementara 1950 sebagai kelanjutan dari UUD RIS yang ditetapkan bersama Belanda di Den Haag pada 27 Desember 1949.
Aturan itu merupakan pengukuh dari aturan-aturan Kolonial Hindia Belanda sebelum Proklamasi Kemerdekaan, termasuk Ordonansi Hindia Belanda 1939, yaitu Teritoriale Zeeën en Maritieme Kringen Ordonantie 1939 (TZMKO 1939).
Dalam hal ini Indonesia masih dirugikan, karena dalam peraturan tersebut menerangkan bahwa pulau-pulau di wilayah Nusantara dipisahkan oleh laut di sekelilingnya dan setiap pulau hanya mempunyai laut di sekelilingnya sejauh 3 mil dari garis pantai sehingga kapal asing boleh dengan bebas melayari laut yang memisahkan pulau-pulau tersebut.
UUDS 50 menjadikan Deklarasi Djuanda hanya sebuah euphoria hukum yang tidak berkutik di bawah naungannya. Alhasil, kondisi itu mengantarkan Indonesia pada kondisi di ujung tanduk, dengan terjadinya disintegrasi bangsa.
Hal tersebut akhirnya diakhiri dengan Dekrit Presiden Sukarno yang berisi bubarkan Dewan Konstituante, Kembali ke UUD 45, dan bentuk MPRS serta DPAS. Hal ini pun tentunya sebagai upaya penyelamatan bangsa dan negara.
Dekrit terserbut diumumkan pada tanggal 5 Juli 1959 di Istana Negara, tentu dengan hadirnya Dekrit ini membawa ruh kemerdekaan Indonesia kembali di mana bangsa dan negara ini berkedaulatan rakyat berdasarkan Pancasila serta menghadirkan kembali cita-cita Sumpah Pemuda, yaitu mengangkat harkat dan martabat hidup bangsa Indonesia.
Dekrit Presiden mampu memperkuat Deklarasi Djuanda yang kemudian dilanjutkan dengan UNCLOS 1982. Jiwa kepemimpinan yang dimiliki Presiden Sukarno menjadikan kebijakan-kebijakan pemerintah pada kala itu mengarah kepada pembangunan Indonesia sebagai negara maritim.
Maknanya, Presiden RI pertama itu memiliki jiwa Ocean Leadership dalam pemerintahannya. Dengan hadirnya kekuatan TNI AL (dulu ALRI) menjadi salah satu bukti pada saat itu bangsa ini memulai membangun negara maritim, yang ditandai dengan kelengkapan alustista yang mutakhir di zamannya.
Selanjutnya, Indonesia mampu memberikan pengaruh yang besar dalam diplomasi maritim baik di kawasan maupun dunia internasional di bawah landasan Pembukaan UUD 1945.
**
Tekad pembangunan bangsa dan negara maritim kembali hadir pada era Gus Dur setelah tidak lagi terangkat ke permukaan lamanya. Presiden RI ke-IV tersebut pada kala itu hendak membangun NKRI sebagai negara maritim dengan pijakan UUD Amandemen. Namun sangat disayangkan pada saat itu harus kandas di tengah jalan.
Walau demikian, tekad Gus Dur masih meninggalkan benih-benih semangat kemaritiman, yakni masih meninggalakan lembaga-lembaga yang mendorong Indonesia menuju negara maritim yang terbentuk di era kepimpinannya.
Sebut saja Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) yang dibentuk pada tanggal 10 November 1999 yang saat itu masih bernama Departemen Eksplorasi Laut dan adanya Dewan Maritim Indonesia. Hal itu merupakan terobosan strategis dalam pembangunan Nasional.
Maju mundurnya visi bangsa untuk mewujudkan negara maritim harus menjadi pelajaran bagi pemerintah saat ini. Rakyat jangan dibingungkan dengan pergantian visi dan misi setiap bergantinya kepemimpinan. Pemerintah harus jelas dan tegas untuk pembangunan dan mempersiapkan Indonesia ke depannya.
"Rakyat jangan dibingungkan dengan pergantian visi dan misi setiap bergantinya kepemimpinan. Pemerintah harus jelas dan tegas untuk pembangunan dan mempersiapkan Indonesia ke depannya"
Jika visi poros maritim dunia menjadi konsep pemerintahan saat ini, harapannya harus diimbangi dengan keputusan-keputusan yang sifatnya jelas dan berkelanjutan. Hadirnya Deklarasi Djuanda yang menyatakan kepada dunia bahwa laut Indonesia adalah termasuk laut sekitar, di antara dan di dalam kepulauan Indonesia menjadi satu kesatuan wilayah NKRI.
Ditambah dengan adanya Dekrit Presiden Sukarno, menjadi bukti keberanian dan tekad yang sungguh-sungguh dari pemerintah kala itu guna mewujudakan kejayaan Indonesia di bidang kemaritiman dan sebagai upaya pemersatu Bangsa dan Negara ini.
Sejarah harus digunakan sebagai rujukan atau pelajaran terbaik untuk keberlanjutan visi poros maritim saat ini. Oleh karena itu, bukan hanya pemerintah, namun seluruh bangsa Indonesia juga harus mulai menyadari jati diri bangsa ini dan melakukan langkah-langkah untuk mewujudakan poros maritim dunia.
Bak mengulang kejayaan maritim masa lalu, Dekrit Presiden merupakan kunci dari terwujudnya negara maritim yang disegani. Selanjutnya, beranikah pemerintah dan rakyat mewujudkan itu? Tentunya dari waktu ke waktu, segala masukan sebagai upaya perbaikan dari setiap kebijakan sangat diperlukan, itulah yang dilakukan penulis dalam tulisan singkat ini.
Jika kita bersama-sama dalam satu visi kembali ke UUD 1945 bukan hal yang tidak mungkin INDONESIA sebagai POROS MARITM DUNIA akan terwujud.
0 komentar:
Posting Komentar